Perempuan Adat dan Majalah Vogue, Pengakuan atau Komodifikasi Sang Liyan?

Vogue Philippines/Instagram

Dengan balutan pakaian berwarna hitam tanpa lengan yang memperlihatkan rajah di sekujur tangan dan dadanya, Apo Whang-Od duduk dengan pose tangan kiri menopang dagu, tangan kanannya menjadi tumpuan. 

Tatapan matanya yang teduh namun penuh percaya diri menjurus ke depan. Gincu berwarna merah menghiasi bibirnya, ikat kepala berwarna senada bertengger di rambutnya yang memutih dengan paripurna. Sementara aksesoris etnik yang didominasi warna merah, kuning dan biru, menghiasi anggota tubuhnya. 

Apo Whang-Od, mambabatok (seniman tato tradisional Filipina) berusia 106 tahun itu bukan hanya perempuan tertua yang fotonya ditampilkan dalam sampul majalah Vogue Filipina edisi April 2023, namun ia dia juga sebagai representasi perempuan dari dunia ketiga dan masyarakat adat. Whang-Od adalah perempuan masyarakat adat Kalinga di Bascalan, Filipina.

Beragam media—baik media lokal dan internasional—kemudian berlomba-lomba mengangkat kisah Whang-Od, dengan sejumlah artis Hollywood menyebutnya “kecantikan yang sesungguhnya”. 

Representasi perempuan di media telah menjadi salah satu topik bahasan dalam diskursus teori tentang tatapan (the gaze theory) yang berkelindan dengan wacana feminisme dekolonial (decolonial feminism) selama beberapa tahun terakhir. 

Namun percakapan tentang pentingnya representasi perempuan mendapat momentumnya ketika majalah gaya hidup dan mode itu menerbitkan majalah dengan sampul seorang perempuan masyarakat adat lanjut usia, berbanding terbalik dengan foto sampul dalam edisi-edisi sebelumnya yang menampilkan perempuan—yang kebanyakan sesuai dengan standar kecantikan versi Barat.

Pesan apa yang yang bisa kita tangkap dari “tatapan” Whang-Od di sampul Vogue? Apa makna tersirat dari eksistensinya di sampul majalah mode Amerika itu? Apakah ini menjadi tanda pergeseran standar kecantikan? Bagaimana kisah Whang-Od dipandang dari perspektif feminisme dekolonial? Akankah ditampilkannya perempuan di luar standar kecantikan barat—khususnya perempuan dari dunia ketiga dan masyarakat adat—di majalah mode atau platform media lainnya menjadi komodifikasi baru?

‘Tatapan’ Apo Whang-Od

Di sampul Vogue Filipina edisi April 2023, Apo Whang-Od tampak menatap langsung ke kamera, yang seolah-olah membuat kita merasa beradu pandang dengannya. Rasa percaya diri tersirat dari tatapan teduhnya. 

Sejumlah fotonya yang lain terpampang di artikel yang mengisahkan hidup dan sepak terjangnya dalam batok, seni tato tradisional di Bascalan, sekitar 12 jam perjalanan dari ibukota Manila.

Apo Whang-Od oleh fotograferArtu Nepomuceno/Vogue Philippines

Artu Nepomuceno adalah fotografer Filipina yang mengabadikan pose Whang-Od untuk foto artikel dan sampul majalah itu. Lewat akun instagramnya, Nepomuceno mengunggah foto yang bersejarah baginya, seraya menulis:

“We celebrate the beauty of time, the beauty of family, the beauty of love, the beauty of our elders, and the beauty of being Filipino. Your celebration of this beautiful soul means more to me than I can ever grasp. But what it means for our country and as humans together is even greater.”

Ini bukan kali pertama Whang-Od menjadi subjek foto. Potretnya dengan ragam pose—ketika masih muda hingga  kini—bisa dengan mudah ditemukan di dunia maya. Di Filipina, Whang-Od populer sebagai perempuan Kalinga yang bisa merajah, namun lewat sampul Vogue-lah popularitasnya mendunia. 

Potret Apo Whang-Od oleh fotografer Francesco Guererro/Grid

Fotografer lain yang mengabadikan potret Whang-Od adalah Francesco Guererro, yang memotret Whang-Od untuk sampul majalah Grid pada 2015. Kala itu, Whang-Od berusia 93 tahun. Dengan pose berdiri bersedekap, ia  mengulum senyum. Gesturnya tampak rikuh di foto tersebut. 

Berbanding terbalik dengan apa yang terjadi dengan potret Whang-Od di majalah Vogue, foto Whang-Od ini justru menuai kritik dari publik Filipina. Sebab, majalah itu dianggap salah menulis namanya dan yang dipandang sebagai “kesalahan besar” dalam foto ini  adalah Whang-Od tidak memakai 'tapis' etnik Kalinga.

Editor Grid, Kristine Fonancier, kemudian mengklarifikasi bahwa selama ini nama Whang Od ditulis dengan banyak versi dan editorial sepakat untuk menggunakan Fang-Od.  Sementara Guerrero menjelaskan, Fang-Od-lah yang memilih pakaiannya sendiri untuk foto tersebut.

Beberapa tahun sebelumnya, fotografer Jake Verzosa mengabadikan potret Whang-Od pada 2011. Foto berwarna hitam putih ini memperlihatkan Whang-Od bertelanjang dada (tanpa memperlihatkan putingnya). Ia menopang dagu, pandangannya menerawang jauh tanpa melihat ke kamera. 

Potret Apo Whang-Od oleh fotografer Jake Verzosa

Foto ini menjadi bagian dari karya buku fotonya, The Last Tattooed Women of Kalinga, koleksi dari foto-foto Verzoca yang mendokumentasikan karya Whang-Od.

Sepanjang 2009 hingga 2013, fotografer yang berbasis di Manila ini memotret para perempuan Kalinga yang tubuhnya dirajah oleh Whang-Od.

Dengan subjek yang sama, foto itu dipotret oleh tiga fotografer pria yang berbeda. Lewat tiga foto itu, sedikit banyak kita bisa menelaah perkembangan tatapan perempuan, atau female gaze, sebagai jawaban dari teori male gaze (tatapan laki-laki). 

Konsep tatapan laki-laki pertama kali dikenalkan oleh kritikus seni John Berger pada 1972 lewat program Ways of Seeing yang ditayangkan BBC. Pada tahun itu juga, ia menerbitkan buku dengan judul yang sama. Dengan mendasarkan pemikirannya pada konsep semiotika, teori tatapan laki-laki ini dia bagi menjadi tiga perspektif dasar: pria di belakang kamera, sudut pandang protagonis laki-laki, dan penonton laki-laki.

Melalui tatapan laki-laki, perempuan menjadi objek kenikmatan seksual semata. Sebuah baris dari Ways of Seeing (1972) meringkas ide tatapan pria:

Anda melukis perempuan telanjang karena Anda senang melihatnya, meletakkan cermin di tangannya, dan Anda menamai lukisan itu Vanity (Keangkuhan), dengan demikian [Anda] mengutuk perempuan yang ketelanjangannya Anda gambarkan untuk kesenangan Anda sendiri.

Teori tatapan laki-laki bukan sekedar cara untuk melihat karya seni, namun juga memiliki implikasi ke dunia nyata, itulah mengapa sangat penting bagi fotografer untuk memahami tentang politik tatapan laki-laki ini. Salah satu efek dari tatapan laki-laki adalah mengokohkan struktur sosial patriarki. 

Sejak Berger pertama kali menciptakan istilah tatapan laki-laki pada tahun 1972, teori itu menjadi salah satu konsep paling berpengaruh dalam kritik seni dan memicu kemunculan teori-teori baru, seperti tatapan perempuan (female gaze) yang diciptakan oleh Laura Mulvey dalam esai Visual Pleasure and Narrative Cinema (1975). 

Sama seperti Berger, Mulvey beranggapan tatapan laki-laki mereproduksi pandangan patriarki yang melihat perempuan sebagai objek dan sebagai orang dari status sosial yang lebih rendah. Secara spesifik, Mulvey mengkritik bagaimana film-film Hollywood memperlakukan perempuan, dengan menulis:

Perempuan berada dalam budaya patriarki sebagai penanda laki-laki, terikat oleh tatanan simbolik di mana laki-laki dapat mewujudkan fantasi dan obsesinya melalui perintah linguistik dengan memaksakannya pada citra bisu perempuan yang masih terikat pada tempatnya sebagai pembawa makna, bukan pembuat makna.

Meskipun hampir 50 tahun telah berlalu sejak Laura Mulvey menulis Visual Pleasure and Narrative Cinema, teori tatapannya masih relevan untuk menilik representasi perempuan sebagai tontonan dalam budaya visual. Esai yang ditulis pada 1975 itu mengeksplorasi kecenderungan sinema arus utama yang dibangun demi tatapan laki-laki, demi memenuhi fantasi dan kesenangan pria. Dengan mengungkap voyeurisme dan fetish penonton pria terhadap citra perempuan, esai ini adalah upaya pertama untuk mempertimbangan interaksi antara penonton dan sinema dalam konteks wacana feminis. 

Pemikiran Mulvey  ini penting bagi diskursus tentang teori tatapan, dan dengan demikian, menjadi fondasi dari teori tatapan perempuan. Lewat tatapan perempuan—dalam hal ini para perempuan menjadi si pembuat makna—mereka melihat dirinya sebagai manusia dan berhak atas dirinya sendiri. Tatapan perempuan mengembalikan hak pilihan perempuan, dan alih-alih menempatkan mereka sebagai sekedar objek, perempuan  menjadi subjek yang bercerita.

Tokenisme dan representasi media

Di industri media, cara figur perempuan disajikan dapat berkontribusi pada pencitraan perempuan. Anastasia Lavenia dalam artikel Representasi Perempuan di Media: Bukan Token Konten Semata(2021), berpandangan bahwa representasi perempuan “bukan cuma soal keterwakilan, tapi juga kuasa produksi pesan”.

Apa itu representasi media dan mengapa representasi perempuan di media penting? Sosiolog Stuart Hall dalam The Work of Representation (1997) memformulasikan konsep representasi sebagai bagaimana manusia memaknai dunia lewat simbol-simbol dalam komunikasi sehari-hari. Misalnya, berbagai simbol visual digunakan dalam proses komunikasi untuk menyampaikan makna sebuah pesan. 

Representasi bukan hanya soal apa yang tampak—tokenisme. Pemahaman atas representasi harus didorong lebih jauh lagi, yaitu menyasar pada siapa yang berkuasa  di belakang kamera, di balik layar. Dalam eksplorasi representasi perempuan, sejauh mana perspektif dan suara perempuan mempengaruhi makna pesan?

Sekarang, mari kita lihat kembali tiga foto Whang-Od yang kita bahas sebelumnya. Tiga foto itu dibuat oleh fotografer laki-laki, mereka adalah pembuat makna dari foto ini. Whang-Od, dalam hal ini,  ia sebagai “objek”  bagi tiga fotografer tersebut, namun dia juga sebagai subjek—dia pembawa, sekaligus pembuat makna. Kita sebagai audiens adalah penginterpretasi makna. 

Jika didedah satu per satu, secara kasat mata ketiganya sama-sama menampilkan potret Whang-Od, seorang mambabatok perempuan terakhir dari Kalinga, dengan beragam pose. Satu foto berwarna hitam putih, dua yang lain berwarna. Namun, dari gestur (sebagai simbol visual) Whang-Od di tiga foto itu, kita—sebagai audiens yang menginterpretasi makna—dapat mengukur bagaimana figur Whang Od sebagai perempuan terwakilkan secara berbeda di masing-masing foto.

Di foto pertama Whang-Od bertelanjang dada, tato di sekujur tubuhnya—simbol visual lainnya—terekspos, membuat kita sebagai pemirsa bisa melihat jelas seluruh tatonya. Kalung etnik menghiasi lehernya, ia tampak sangat sederhana. Dilihat dari gestur, Whang Od  bertopang dagu, tatapannya menerawang jauh. Ia tampak melamun di foto itu. Terlepas dari potretnya yang indah di foto itu, Whang Od hanya tampak sebagai objek dari si fotografer. 

Di foto kedua, Whang Od tak lagi telanjang, ia mengenakan pakaian tanpa lengan dan bawahan yang tampak seperti kain etnik. Aksesoris di tubuhnya tampak lebih ramai dengan kalung, kain tapis yang menyilang di badan, anting dan ikat kepala. Gesturnya bersedekap dengan senyum simpul di wajahnya. Ia tampak rikuh di foto ini. 

Sementara di foto ketiga, pakaiannya hampir serupa dengan foto kedua. Namun dari pose, gestur dan pandangan yang menatap ke kamera, ia tampak lebih percaya diri. Gincu merah yang menghiasi wajahnya memperkuat karakter Whang Od. 

Mengingat interpretasi makna bersifat subjektif, sangat mungkin interpretasi saya berbeda dengan audiens lain. Bisa jadi juga,  jika di kedua foto pertama Whang-Od menghadap kamera—menatap langsung ke fotografer dan audiens—maka pemaknaan fotonya akan lain. 

Pemimpin redaksi majalah Vogue Filipina, Bea Valdes, mengatakan kepada CNN alasannya menempatkan Whang-Od di sampul edisi April 2023 adalah karena pihaknya merasa Whang-Od mewakili keindahan budaya Filipina yang ideal.

Kami percaya bahwa konsep kecantikan perlu berkembang, dan mencakup wajah dan bentuk yang beragam dan inklusif. Apa yang ingin kami bicarakan adalah keindahan kemanusiaan.

Whang-Od, yang juga dikenal sebagai Maria Oggay, adalah salah satu dari sedikit model sampul Vogue yang berasal dari komunitas adat, dan juga dianggap sebagai perempuan tertua yang tampil di halaman depan majalah. Pada tahun 2020, aktris Judi Dench menjadi bintang sampul Vogue Inggris tertua di usia 85 tahun.

Foto sampul ini menuai perhatian publik internasional, dengan selebriti dan ikon fesyen seperti Halle Berry, Naomi Campbell, Linda Evangelista, dan Gigi Hadid membagikan atau memberi komentar foto Whang-Od di akun media sosial mereka. 

Seperti yang dilakukan model Cara Delevingne yang membagikan ulang unggahan Halle Berry yang memberi komentar: “Now, THIS is real beauty” (Nah INI adalah kecantikan yang sesungguhnya) pada foto sampul tersebut. 

Komodifikasi sang Liyan?

Foto Whang Od menjadi momentum terbaru untuk membicarakan representasi perempuan di media, namun apakah fotonya menjadi tanda era baru standar kecantikan? Atau justru ini hanya sekedar komodifikasi baru? 

Sepanjang sejarah, bahkan hingga saat ini, perempuan kulit berwarna—termasuk perempuan Asia—dituntut untuk memenuhi standar kecantikan Eurosentris yang mendominasi masyarakat kita. Yang cantik adalah yang berkulit putih, berambut lurus dan berperawakan langsing—merujuk pada citra tubuh perempuan kulit putih kebanyakan.

Sementara mereka yang berwarna lebih gelap, rambut keriting dan fitur wajah yang lebih menonjol, terus menerus terpinggirkan dan dibiarkan merasa tak berdaya untuk memenuhi standar kecantikan itu. Hanya baru-baru ini, muncul gerakan menentang standar kecantikan kolonial ini dengan menampilkan tubuh perempuan yang lebih berlekuk, berambut keriting dan berkulit lebih gelap. 

Standar kecantikan, betapapun, selalu tunduk pada ‘standar hegemoni penguasa’ yang menjadikannya sebagai komoditas. Apa yang membuat seorang perempuan cantik selalu ditentukan oleh pria kulit putih yang berkuasa. Citra tubuh orang-orang Barat dimuliakan dan dieksploitasi di masyarakat dan media, yang dengan mudah menjadi definisi kecantikan secara umum. 

Di sisi lain, media mengkondisikan perempuan untuk meyakini bahwa nilai mereka bergantung sepenuhnya pada penampilan fisik mereka dan dengan demikian, kecantikan ideal Barat telah menjadi aspirasi bagi para perempuan kulit berwarna. 

Standar kecantikan ini mengingatkan pada era kolonial yang menganggap orang kulit putih lebih unggul. Patokan sejarah ini semakin diperkuat dengan dominasi Barat atas budaya populer melalui kekuatan ekonomi dan neo-kolonial yang mengikutinya, hal ini masih mempengaruhi masyarakat dan budaya kita saat ini.

Filsuf Prancis Frantz Fanon berpendapat bahwa kolonialisme tak hanya menghasilkan keuntungan teritorial dan ekonomi, tetapi juga meninggalkan dampak psikologis—salah satunya persepsi diri—yang signifikan pada masyarakat yang terjajah akibat dari interaksi dengan penjajah.

Ambil kasus apa yang terjadi dengan Whang-Od dan tato masyarakat adat Kalinga di Filipina. Citra masyarakat adat Kalinga sebagai orang biadab yang haus darah diperkenalkan oleh fotografer Dean Worcester, yang pada tahun 1912 menerbitkan foto-foto suku Cordilleran di majalah National Geographic. Lewat foto-fotonya, Worcester menggambarkan mereka sebagai makhluk eksotis dan menakutkan demi menjustifikasi kontrol Amerika atas koloni Pulau Luzon Utara.

Pada zaman  pra-kolonial, tubuh bertato dirayakan sebagai lambang kehormatan, kekayaan, kecantikan, dan keberanian. Seperti diungkapkan Audrey Carpio dalam artikel Apo Whang-Od And the Indelible Marks of Filipino Identity (2023), artikel yang memuat kisah hidup Whang-Od di Vogue Filipina edisi April 2023, disebutkan bahwa tato melambangkan keberanian bagi laki-laki, sementara bagi perempuan melambangkan kesuburan dan kecantikan. Pada masa itu, perempuan tanpa rajah di tubuh mereka dianggap tidak sempurna, tidak diinginkan. 

Namun, ketika misionaris Katolik datang dan membangun sekolah di Kalinga, gadis-gadis diwajibkan menutupi lengan mereka dengan lengan panjang. Memiliki tato dipandang sebagai hal yang memalukan dan akhirnya lebih sedikit generasi perempuan muda Kalinga yang melanjutkan tradisi batok karena konsep kecantikan ala Barat mulai meresapi budaya mereka. 

Salah satu perkembangan signifikan dari abad ke-21 dan kian menguat selama beberapa tahun ini, adalah gerakan feminisme dekolonial—cara berpikir yang menentang berbagai sistem dominasi: kapitalis, kolonial, dan patriarki—di seluruh dunia. Seperti diungkapkan oleh Francoise Verges dalam A Decolonial Feminism (2019), feminisme dekolonial bukanlah ‘gelombang baru’ dari feminisme. Ini lebih merupakan tahap baru dalam proses dekolonisasi, yang kita semua tahu adalah proses sejarah yang panjang. 

Dalam manifestonya tersebut, Verges membahas cara-cara di mana feminisme arus utama atau 'peradaban', juga disebut 'femonasionalisme' atau 'femoimperialisme' membantu memperkuat penindasan terhadap perempuan yang terpinggirkan. Ia menyoroti rasisme struktural di Prancis dan Eropa, dan warisan kolonialisme pada feminisme borjuis kulit putih.

Pesan utamanya adalah agar feminis kulit putih, yang diistimewakan oleh kapitalisme dan rasisme, mengakui bahwa mereka diuntungkan oleh kolonialisme dan menunjukkan solidaritas kepada perempuan kulit berwarna. 

Vogue Filipina, dalam artikel yang diterbitkan tiga hari setelah artikel tentang Whang Od terbit dan viral, mengatakan keputusan untuk menanggalkan pola fesyen umum—dalam hal ini standar kecantikan Barat— dan menyertakan seseorang dengan latar belakang budaya yang kuat “semoga menandai era baru dalam  industri ini”.

Sepanjang sejarah, industri mode dan kecantikan didominasi oleh kulit putih, bertubuh kurus dan terkesan tak ada keragaman. Namun belakangan,  isu inklusivitas menjadi sangat kuat seiring dengan target pasar dan audiens yang semakin mendunia. Tak hanya standar kecantikan dan gaya belaka, jelas bahwa audiens di seluruh dunia mendambakan cerita. 

Tahun lalu, Vogue menampilkan Xueli Abbing, model dengan albinisme—kelainan genetik yang membuat kulit dan rambutnya berwarna pucat—di halaman depannya. Abbing juga dikenal sebagai salah satu model  yang mengkampanyekan industri fesyen yang inklusif.

Sebelumnya,  model Inggris dengan down syndrome,  Ellie Goldstein, sempat menyita perhatian publik ketika foto-fotonya ditampilkan di majalah Vogue Italia. Ia kemudian menjadi model produk kecantikan Gucci Beauty. 

Lantas, akankah ditampilkannya perempuan di luar standar kecantikan barat: model dengan albinisme dan down syndrome—dan yang terbaru, perempuan dari dunia ketiga dan masyarakat adat—di majalah mode atau platform media lainnya menjadi komodifikasi baru?

Dalam kajian budaya, budaya dianggap sebagai komoditas. Komodifikasi ini melihat budaya baik untuk nilai tukarnya atau nilai tukar tandanya. Budaya tertentu dan karakteristiknya dengan demikian dikomodifikasi untuk mendapatkan keuntungan melalui pembelian. 

Komodifikasi kemudian ditelaah kaitannya dengan kekuasaan dan bagaimana pengaruhnya terhadap berbagai kondisi budaya, sosial politik,  dan ekonomi. Kekuasaan yang dipegang oleh produsen budaya yang dikomodifikasi meningkat karena globalisasi dengan cara menyebar dan menghubungkan produksi, distribusi, dan konsumsi dengan bantuan teknologi di seluruh dunia.

Kebudayaan biasanya dianggap sebagai contoh utama yang rentan akan komodifikasi. Produk dari budaya: pakaian adat, ritual dan seni tradisional kini menjadi komoditas pariwisata, sebagaimana mereka dipentaskan atau diproduksi semata-mata untuk konsumsi pariwisata. 

Narasi dalam artikel yang memuat kisah Apo Whang-Od tak hanya berbicara tentang sejarah hidupnya, tapi juga tentang pelestarian tradisi berusia ribuan tahun. Berkat pariwisata dan popularitas seni tato tradisional yang ia geluti, generasi baru seniman siap untuk meneruskan warisan budaya masyarakat adat Kalinga.

Di satu sisi, eksistensi Whang-Od di majalah Vogue Filipina menandakan pengakuan akan tradisi dan masyarakat adat, sekaligus representasi perempuan yang semakin inklusif. Namun, bagai dua bilah mata pedang, ada potensi komodifikasi dari itu. 

Seperti diungkapkan antropolog Davydd J. Greenwood, kebudayaan lokal yang diperlakukan sebagai atraksi wisata berpotensi kehilangan makna aslinya. Hilangnya suatu makna yang terkandung dalam  budaya ini adalah masalah serius sebagai hasil dari berkembangnya pariwisata yang tak terkendali.

Jangan sampai ini menjadi komodifikasi sang Liyan, atau ‘commodification of Otherness’, seperti diungkapkan oleh bell hooks dalam esainya Eating the Other: Desire and Resistance (1992), yang menurutnya, “telah berhasil” karena komodifikasi sang Liyan itu “ditawarkan sebagai suatu kesenangan baru, sesuatu yang lebih intens dan lebih memuaskan dari cara biasa dalam melakukan dan merasakan sesuatu”.

Previous
Previous

On bell hooks

Next
Next

On decolonial feminism and indigenous communities